Hey, AR,
Nggak tahu kenapa, sejak aku mencuri NIM-mu dan berhasil mendapatkan jadwal kuliahmu, aku jadi kangen terus. Ya, kita memang sering ketemu akhir-akhir ini di kampus. Dan kamu, oh My, selalu menjahiliku.
Kau tahu, hari itu, aku sengaja berdandan feminim. Memakai kaos cokelat dan rok kotak-kotak cokelat, karena aku tahu, kita akan bertemu karena kita memiliki jadwal yang sama walaupun matakuliahnya berbeda. Well ya, aku ngaku, aku melakukan itu untuk menarik perhatianmu.
Dan apa yang kau bilang saat melihatku, “Hahaha… Suci, Kamu ngapain pakai sarung ke kampus?”
Hadooh… kamu ini, aku kan jadi malu. Aku hanya bisa melotot sebal padamu, berusaha menutupi rasa malu yang menggelayuti wajahku. Aku bersyukur, aku sempat berbalik sebelum kau melihat perubahan wajahku menjadi semerah tomat.
Suatu kali, di rumah Wiwit, saat aku sedang serius membuat database menggunakan Visual Basic 6, sebagai persyaratan agar aku bisa masuk UKM kampus yang aku idam-idamkan, kau mencubit ujung hidungku. Aku kaget, kamu jahil lagi, tapi justru kenapa jantungku jadi tidak normal begini? Oh Tuhan, betapa anarkisnya jantungku ini. Aku tertunduk, kembali menatap layar laptop setelah berhasil memarahimu karena menggangguku, berharap dengan begitu kau tidak tahu perasaanku yang sebenarnya. Aku malu sekali, tau’!
Kau benar-benar jahil. Selalu menggangguku. Ketika aku mencubit punggungmu secara bertubi-tubi sebagai balasan atas kejahilanmu, kau malah mengadu keenakan. “Yah, pijit di situ. Di atas-atas lagi. Jangan terlalu keras. Ya, begitu.”
Hei, AR, aku tidak sedang memijitmu!!! Sebegitu lemahnya kah cubitanku? Dasar, dan tololnya lagi, aku mau-maunya saja menuruti kata-katamu. Dengan sigap berubah menjadi tukang pijit.
Haduh, kenapa sih dengan aku ini?
Tapi aku tidak akan membiarkan jahilmu berkembang biak dan beranak-pinak, AR. Ya, aku membalasnya.
Kau tahu siapa yang menyembunyikan sandalmu di genteng basecamp waktu itu? ya, aku. Aku tidak bisa berakting. Aku hampir saja tertawa saat kau menatapku dengan pandangan tertuduh. Tapi ketika Budi lewat, dan berhasil menemukan sandalmu, kau malah menuduhnya. Hihihihi
Dan, beberapa hari terakhir ini, aku menyundul belakang lututmu sehingga keseimbanganmu goyah dan terjatuh setiap kali kau menjahiliku. Kamu hanya tertawa saat aku mengataimu, “Rasain!”
Apa maksud tawamu itu, AR? Apakah kau menyukai kejahilanku juga? Oh demi Tuhan, aku tidak pernah sejahil itu, dan tidak seberani itu kalau bukan kamu yang akan kujahili, AR.
Tapi saat aku melihatmu mencubit hidung Wana, Wiwit, dan mengganggu Hawai di rumah Wiwit di hari lain waktu itu, aku merasa lain. Aku bisa merasakan perubahan raut wajahku. Aku memaksakan senyumku, tertawa melihatmu menjahili mereka juga tepat di depan mataku. Padahal hatiku basah, AR.
Aku kembali menatap layar laptop, berusaha menyelesaikan tugas database-ku yang tidak bisa selesai-selesai. Baru kali ini aku ingin menangis karena sifat jahilmu, AR.