gambar dari sini |
Aku kira
gosip yang dibikin teman-teman UKM kita itu hanya bualan dan perkataan sambil
lalu. Aku tidak terlalu memikirkannya walaupun terkadang gosip itu
menghampiriku saat ku ingin tidur.
Aku tidak
mempercayai gosip itu, AR. Mengingat bagaimana sikapmu kepadaku. Kita sering
SMS-an malam-malam, walaupun itu hanya sekedar SMS joke.
“Have a
nice dreams.” Pesanmu suatu malam.
“Ok.
Sleep tight. Nggak usah dibalas!” SMSku waktu itu.
Tapi kamu
tetap membalas SMSku dan kita SMSan terus. Aku masih ingat, jam paling larut
kita saling SMSan itu jam 5 subuh, AR.
Kamu
sering menjahiliku, ya aku tahu, kamu juga sering menjahili orang lain, tapi
tidak seintens kejahilanmu padaku. Kamu mengajariku main gitar, alat musik yang
sangat ingin bisa kumainkan dengan lagu Fall For You-nya Secondhand Serenade.
Kamu ahlinya. Dan aku sangat senang dengan semua keakraban kita.
Tapi dari
Sari aku mengetahui perasaanmu kepada teman pertama di UKM kita itu, AR. Sari
membaca kotak masukmu yang tertuju untuk dia.
“Kita kan
sodara. Squad itu bersaudara.” SMS Riri di hapemu.
Dan di
pesan terkirimmu tertulis, “Aku nggak mau jadi saudara Riri. Aku mau lebih dari
saudara.”
Tahukah kamu, AR, aku mendengar cerita Sari sambil tersenyum
dan menggumam, “Mungkin gosip itu benar.” Dan hatiku perih.
Aku juga
tahu dari Sari kalau kamu pernah mengantar Riri pulang sampai di Gowa. Jarak
basecamp dan Gowa itu sangat jauh, dan kamu mengantarnya pulang malam-malam.
Kamu sangat khawatir ya padanya?
Aku iri,
AR. Aku berpikir, seandainya aku tidak bawa motor kemana-mana, apa kamu juga
akan mengantarku pulang? Mungkin tidak kalau Riri juga berada di sampingku. Kau
pasti lebih memilih dia daripada menjahiliku, ya kan?
Aku
berusaha menepis gosip itu dan membayangkan kau juga memiliki perasaan yang
sama padaku, AR. Sungguh. Tapi aku tidak akan melakukan tingkah bodoh itu lagi.
Terlebih saat Sari cerita bagaimana kau memohon-mohon padanya untuk menemanimu
pergi bertamu di rumah Riri, padahal itu sudah larut, jam 10 malam adalah jam
abnormal datang ke rumah orang hanya untuk menanyakan kabar.
“Mungkin
AR kangen kali sama Riri,” jawabku. Sungguh aku berharap suaraku tidak
terdengar getir. Ya, kamu pasti sangat merindukan Riri, AR.
Sari
tidak tahu perasaanku padamu saat itu, AR. Dia menceritakannya karena aku,
secara tidak kentara, berhasil mengorek informasi darinya yang sangat akrab
denganmu tanpa harus curhat dan memberi tahu perasaanku yang sejujurnya
kepadamu.
Aku
selalu merasa ragu. Tapi setidaknya aku merasa lega, AR. Walaupun sampai di
rumah aku langsung menangis karena rasaku bertepuk sebelah tangan. Tidak
apa-apa, AR. Sungguh. Kita tetap bisa menjadi teman. Tapi jangan salahkan aku
kalau kau sudah melewatkan seseorang yang betul-betul tulus.